
Irendra Radjawali – Pulau Kalimantan merupakan salah satu aset penting bagi Indonesia. Tidak hanya karena merupakan pulau dengan luas daratan terbesar di Indonesia.
Pulau ini juga menyimpan potensi hutan produksi , gambut, dan hutan hujan yang menjadi habitat dari beberapa hewan endemik yang langka, pulau Kalimantan dinobatkan dunia sebagai salah satu cadangan paru-paru dunia untuk keberlangsungan atmosfer global.
Selain itu pulau Kalimantan juga menjadi lokasi endemik bagi suku asli di sana yaitu Suku Dayak. Suku Dayak merupakan penghuni asli wilayah kepulauan Borneo yang membentang dari ujung utara Sabah, Malaysia hingga Kalimantan Selatan.
Sebagai kelompok masyarakat yang diakui keberadaan dan sejarahnya oleh Republik Indonesia, maka pemerintah memberikan hak tanah adat untuk dikelola oleh kelompok Suku Dayak itu sendiri.
Namun sayangnya hak-hak orang Dayak atas tanah mereka seringkali dilanggar oleh para perusahaan-perusahaan perkebunan yang diberi izin konsesi untuk mengelola perkebunan sawit di sana.
Banyak tanah-tanah yang menjadi hak dari kelompok tertentu orang Dayak diambil dan dialihgunakan untuk keperluan penanaman kelapa sawit, mesin pengolahan, hingga perkantoran.
Jauh lebih buruk dari itu, pemerintah khususnya pemerintah kabupaten seakan-akan lebih berpihak kepada pihak perusahaan dengan memidanakan secara perorangan atau kelompok dari masyarakat Dayak yang mencoba memprotes atau melawan.
Irendra Radjawali
Adalah Irendra Radjawali, seorang aktivis dan juga seorang geografer yang mencoba memberikan solusi bagi warga suku Dayak, dimana banyak warga Suku Dayak yang sering menghadapi konflik agrarian perebutan lahan dengan perusahaan perkebunan.
Sebagai aktivis yang banyak berkecimpung pada urusan hak tanah suku asli, dirinya terinspirasi oleh pengalamannya menyusuri sungai Kapuas hulu pad atahhun 2012 dengan peneliti Jerman.
Ketika itu ia banyak mendapati maraknya pertambangan di wilayah hutan yang dihuni oleh banyak warga dayak asli.
Kesulitan mendapat informasi dari situs pertambangan, Irendra akhirnya mencoba untuk menggunakan teknologi drone untuk “mengintip” aktivitas pertambangan di tengah-tengah hutan yang sunyi. Kala itu dengan dana terbatas, ia berusaha membangun drone-nya sendiri di sela-sela penyusuran wilayah Kapuas.
Pada tahun 2014 Irendra kembali dengan satu misi yaitu mengenalkan teknologi buatannya sendiri kepada masyarakat suku Dayak. Sebelum Irendra datang, banyak warga suku dayak yang melakukan protes hanya mendapat halauan dari aparat karena kurangnya bukti kepemilikan.
Dengan mengenalkan drone kepada suku Dayak, Irendra berharap mereka dapat memetakan wilayah tanah mereka yang dilanggar oleh perusahaan sebagai bukti. Selain itu ia juga mengadvokasi warga suku dayak untuk mengumpulkan bukti gambar aktivitas perusahaan untuk mendapat proses secara hukum.
Mengenalkan Drone kepada anak-anak Dayak
Tidak hanya untuk keperluan perlindungan hak terhadap hutan, Irendra juga mengenalkan teknologi Drone ini kepada anak-anak suku pedalaman Dayak di sana. Keterbatasan akses terhadap perangkat dan gawai yang selama ini hanya bisa dinikmati oleh anak-anak kota kini juga bisa dinikmati oleh Anak-anak Dayak.
Dalam sebuah kesempatan ia mengajarkan anak-anak untuk memprogram drone agar bisa melakukan berbagai atraksi. Hal ini ia lakukan karena ia merasa bahwa anak-anak suku pedalaman sana juga bisa menguasai teknologi meskipun hidup jauh dari peradaban modern.
Mendapat dukungan dari Pemerintah Setempat
Rupanya kegigihan Irendra dalam mengenalkan teknologi drone ini juga mendapat perhatian dari pemerintah setempat.
Dimana berkat Irendra, pemerintah kabupaten siap mensosialisasikan pendidikan penggunaan Drone untuk mendukung kesadaran warga Suku Dayak terhadap hak-haknya.
Saat ini pemerintah Kayong Utara berniat mengadopsi penggunaan teknologi Drone ala Irendra untuk memetakan garis pantai dan wilayah potensi perikanan. Sangat Positif.
Diambil dari berbagai sumber.